Keutamaan Berpuasa di Hari ‘Asyura (10 Muharram)
Di bulan Muharram, berpuasa ‘Asyura tanggal 10 Muharram sangat ditekankan, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
((…وَصِيَامُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ.))
“… Dan puasa di hari ‘Asyura’ saya berharap kepada Allah agar dapat menghapuskan (dosa) setahun yang lalu.”6
Ternyata puasa ‘Asyura’ adalah puasa yang telah dikenal oleh orang-orang Quraisy sebelum datangnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka juga berpuasa pada hari tersebut. ‘Aisyah radhiallahu ‘anha berkata:
(كَانَ يَوْمُ 
عَاشُورَاءَ تَصُومُهُ قُرَيْشٌ فِي الْجَاهِلِيَّةِ ، وَكَانَ رَسُولُ 
اللهِ صلى الله عليه وسلم يَصُومُهُ فَلَمَّا قَدِمَ الْمَدِينَةَ صَامَهُ 
وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ فَلَمَّا فُرِضَ رَمَضَانُ تَرَكَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ
 فَمَنْ شَاءَ صَامَهُ ، وَمَنْ شَاءَ تَرَكَه.)
“Dulu hari ‘Asyura, orang-orang Quraisy mempuasainya di masa Jahiliyah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
 juga mempuasainya. Ketika beliau pindah ke Madinah, beliau mempuasainya
 dan menyuruh orang-orang untuk berpuasa. Ketika diwajibkan puasa Ramadhan,
 beliau meninggalkan puasa ‘Asyura’. Barang siapa yang ingin, maka 
silakan berpuasa. Barang siapa yang tidak ingin, maka silakan 
meninggalkannya.” 7
Keutamaan Berpuasa Sehari Sebelumnya
Selain berpuasa di hari ‘Asyura disukai untuk berpuasa pada tanggal 9 Muharram, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
 pernah berkeinginan, jika seandainya tahun depan beliau hidup, beliau 
akan berpuasa pada tanggal 9 dan 10 Muharram. Tetapi ternyata Rasulullah
 shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat pada tahun tersebut.
عَبْدَ اللَّهِ بْنَ 
عَبَّاسٍ – رضى الله عنهما – يَقُولُ: حِينَ صَامَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى 
الله عليه وسلم- يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ, قَالُوا يَا 
رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهُ يَوْمٌ تُعَظِّمُهُ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى. 
فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-: (( فَإِذَا كَانَ الْعَامُ 
الْمُقْبِلُ – إِنْ شَاءَ اللَّهُ – صُمْنَا الْيَوْمَ التَّاسِعَ.)) 
قَالَ: فَلَمْ يَأْتِ الْعَامُ الْمُقْبِلُ حَتَّى تُوُفِّىَ رَسُولُ 
اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-.
Diriwayatkan dari Abdullah bin ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma bahwasanya dia berkata, “ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
 ketika berpuasa di hari ‘Asyura’ dan memerintahkan manusia untuk 
berpuasa, para sahabat pun berkata, ‘Ya Rasulullah! Sesungguhnya hari 
ini adalah hari yang diagungkan oleh orang-orang Yahudi dan Nasrani.’ 
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berkata, ‘Apabila tahun depan -insya Allah- kita akan berpuasa dengan tanggal 9 (Muharram).’ Belum sempat tahun depan tersebut datang, ternyata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggal.”8
Banyak ulama mengatakan bahwa disunnahkan juga berpuasa sesudahnya 
yaitu tanggal 11 Muharram. Di antara mereka ada yang berdalil dengan 
hadits Ibnu ‘Abbas berikut:
(( صُومُوا يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَخَالِفُوا فِيهِ الْيَهُودَ ، صُومُوا قَبْلَهُ يَوْمًا أَوْ بَعْدَهُ يَوْمًا.))
“Berpuasalah kalian pada hari ‘Asyura’ dan selisihilah 
orang-orang Yahudi. Berpuasalah sebelumnya atau berpuasalah setelahnya 
satu hari.”9
Akan tetapi hadits ini lemah dari segi sanadnya (jalur periwayatan haditsnya).
Meskipun demikian, bukan berarti jika seseorang ingin berpuasa 
tanggal 11 Muharram hal tersebut terlarang. Tentu tidak, karena puasa 
tanggal 11 Muharram termasuk puasa di bulan Muharram dan hal tersebut 
disunnahkan.
Sebagian ulama juga memberikan alasan, jika berpuasa pada tanggal 11 
Muharram dan 9 Muharram, maka hal tersebut dapat menghilangkan keraguan 
tentang bertepatan atau tidakkah hari ‘Asyura (10 Muharram) yang dia 
puasai tersebut, karena bisa saja penentuan masuk atau tidaknya bulan 
Muharram tidak tepat. Apalagi untuk saat sekarang, banyak manusia 
tergantung dengan ilmu astronomi dalam penentuan awal bulan, kecuali 
pada bulan Ramadhan, Syawal dan Dzul-Hijjah.
Tingkatan berpuasa ‘Asyura yang disebutkan oleh para ahli fiqh
Para ulama membuat beberapa tingkatan dalam berpuasa di hari ‘Asyura ini, sebagai berikut:
- Tingkatan pertama: Berpuasa pada tanggal 9, 10 dan 11 Muharram.
- Tingkatan kedua: Berpuasa pada tanggal 9 dan 10 Muharram.
- Tingkatan ketiga: Berpuasa pada tanggal 10 dan 11 Muharram.
- Tingkatan keempat: Berpuasa hanya pada tanggal 10 Muharram.
Sebagian ulama mengatakan makruhnya berpuasa hanya pada tanggal 10 
Muharram, karena hal tersebut mendekati penyerupaan dengan orang-orang 
Yahudi. Yang berpendapat demikian di antaranya adalah: Ibnu ‘Abbas, Imam
 Ahmad dan sebagian madzhab Abi Hanifah.
Allahu a’lam, pendapat yang kuat tidak mengapa berpuasa 
hanya pada tanggal 10 Muharram, karena seperti itulah yang dilakukan 
oleh Rasulullah selama beliau hidup.
Hari ‘Asyura, Hari Bergembira atau Hari Bersedih?
Kaum muslimin mengerjakan puasa sunnah
 pada hari ini. Sedangkan banyak di kalangan manusia, memperingati hari 
ini dengan kesedihan dan ada juga yang memperingati hari ini dengan 
bergembira dengan berlapang-lapang dalam menyediakan makanan dan 
lainnya.
Kedua hal tersebut salah. Orang-orang yang memperingatinya dengan 
kesedihan, maka orang tersebut laiknya aliran Syi’ah yang memperingati 
hari wafatnya Husain bin ‘Ali bin Abi Thalib, cucu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Husain radhiallahu ‘anhu
 terbunuh di Karbala’ oleh orang-orang yang mengaku mendukungnya. 
Kemudian orang-orang Syi’ah pun menjadikannya sebagai hari penyesalan 
dan kesedihan atas meninggalnya Husain.
Di Iran, yaitu pusat penyebaran Syi’ah saat ini, merupakan suatu 
pemandangan yang wajar, kaum lelaki melukai kepala-kepala dengan pisau 
mereka hingga mengucurkan darah, begitu pula dengan kaum wanita mereka melukai punggung-punggung mereka dengan benda-benda tajam.
Begitu pula menjadi pemandangan yang wajar mereka menangis dan 
memukul wajah mereka, sebagai lambang kesedihan mereka atas terbunuhnya 
Husain radhiallahu ‘anhu.
Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
عَنْ عَبْدِ اللهِ 
رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ 
وَسَلَّمَ-: (( لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَطَمَ الْخُدُودَ وَشَقَّ الْجُيُوبَ 
وَدَعَا بِدَعْوَى الْجَاهِلِيَّةِ.))
“Bukan termasuk golonganku orang yang menampar-nampar pipinya, 
merobek-robek baju dan berteriak-teriak seperti teriakan orang-orang di 
masa Jahiliyah.”10
Kalau dipikir, mengapa mereka tidak melakukan hal yang sama di hari 
meninggalnya ‘Ali bin Abi Thalib, Padahal beliau juga wafat terbunuh?
Di antara manusia juga ada yang memperingatinya dengan bergembira. 
Mereka sengaja memasak dan menyediakan makanan lebih, memberikan nafkah 
lebih dan bergembira layaknya ‘idul-fithri.
Mereka berdalil dengan hadits lemah:
(( مَنْ وَسَّعَ عَلَى عِيَالِهِ يَوْمَ عَاشُورَاءَ لَمْ يَزَلْ فِي سَعَةٍ سَائِرَ سَنَتِهِ.))
“Barang siapa yang berlapang-lapang kepada keluarganya di hari ‘Asyura’, maka Allah akan melapangkannya sepanjang tahun tersebut.”11
Dan perlu diketahui merayakan hari ‘Asyura’ dengan seperti ini adalah
 bentuk penyerupaan dengan orang-orang Yahudi. Mereka bergembira pada 
hari ini dan menjadikannya sebagai hari raya.
Demikianlah sedikit pembahasan tentang bulan Muharram dan keutamaan berpuasa di dalamnya. Mudahan kita bisa mengawali tahun baru Islam ini dengan ketaatan. Dan Mudahan tulisan ini bermanfaat. Amin.
Daftar Pustaka
- Ad-Dibaj ‘Ala Muslim. Jalaluddin As-Suyuthi.
- Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim bin Al-Hajjaj. Imam An-Nawawi.
- Fiqhussunnah. Sayyid Sabiq.
- Risalah fi Ahadits Syahrillah Al-Muharram. ‘Abdullah bin Shalih Al-Fauzan. http://www.islamlight.net/
- Tuhfatul-Ahwadzi. Muhammad ‘Abdurrahman Al-Mubarakfuri.
- Buku-buku hadits dan tafsir dalam catatan kaki (footnotes) dan buku-buku lain yang sebagian besar sudah dicantumkan di footnotes.
Catatan Kaki
2 HR Al-Bukhari no. 3197 dan Muslim no. 1679/4383.
3 Tafsir ibnu Abi hatim VI/1793.
4 Tafsir Ibnu Abi Hatim VI/1791.
6 HR Muslim no. 1162/2746.
7 HR Al-Bukhari no. 2002.
8 HR Muslim no. 1134/2666.
9
 HR Ahmad no. 2153, Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubra no. 8189 dan yang
 lainnya. Syaikh Syu’aib dan Syaikh Al-Albani menghukumi hadits ini lemah.
10 HR Al-Bukhari 1294.
11
 HR Ath-Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir no. 9864 dari Abdullah bin 
Mas’ud dan Al-Baihaqi dalam Asy-Syu’ab no. 3513,3514 dan 3515 dari 
‘Abdullah bin Mas’ud, Abu Hurairah dan Abu Sa’id Al-Khudri. Keseluruhan 
jalur tersebut lemah dan tidak mungkin saling menguatkan, sebagaimana 
dijelaskan dengan rinci oleh Syaikh Al-Albani dalam Adh-Dha’ifah no. 
6824.
Sumber: muslim.or.id
 
 
0 comments :
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !